Jumat, 10 Februari 2012

Percakapan dengan Tukang Tambal Ban

Selasa, 7 februari 2012

Pagi itu, saya berencana pergi ke Jogja mengurus izin penelitian untuk skripsi saya. Perjalanan diawali pada pukul 8 pagi. Setelah sebelumnya sarapan di warung makan Pak Di dengan menu nasi pecel kering tempe plus tahu goreng n kerupuk, berangkatlah saya menuju Jogja. Si Jundi (motor Revo saya-red) rupanya butuh sedikit sentuhan angin (pompa maksudnya) karena ban belakangnya agak2 kempes. Sebelum kempesnya tambah parah dan berakhir tragis menjadi bocor, saya selalu membiasakan diri memompakan ban belakang Jundi sedini mungkin selama indikasi ban kempes mulai muncul. Pagi itu saya berhenti di depan Rumah Duka Tiong Ting untuk tambah angin. Bukan kios, bukan, hanya ada bangku, kompresor, alat2 standar tukang tambal ban, plus ban luar bekas yang ditulisi TAMBAL BAN yang ada di situ. Di atas bangku duduk seorang laki-laki dan perempuan yang sepertinya suami istri. Begitu saya datang, si Bapak dengan sigap melayani. Seusai mengisi angin, terjadilah percakapan itu..

B = Bapak tukang tambal ban
S= Saya

B : "Platnya BE, dari Sumatera ya Mbak? Sumatera mana?" (membereskan selang kompresor)

S : "Lampung, Pak." (ngasih selembar duit seribuan)

B : "Saya punya saudara yang merantau ke Sumatera. Dia kerja di perkebunan kelapa sawit. Hidupnya jadi       lumayan mapan setelah merantau" 

S : ini si Bapak kayaknya mau curcol nih "oh iya Pak, saya juga sering denger yang seperti itu"

B : "Kamu punya kenalan yang kerja di perkebunan sawit ga?" nanyanya sambil ragu2

S : (geleng kepala) ini arah pembicaraannya kemana deh??

B : "Ooo...Kamu tinggal di kotanya ya?" (duduk kembali ke bangku)

S : (ngangguk) "Iya Pak" aduh Pak, saya buru2 nih..

B : "Berapa Mbak ongkosnya sekali jalan ke Lampung?"

S : "Naik bus eksekuif 260ribu Pak" (udah naik ke atas motor lagi)

B : (ngomong ke Ibu yang di sampingnya) "Mahal juga ya.." 
     (ngomong ke saya lagi) "Itu dapet makan sekalian?"

S : (lagi2 ngangguk sambil nyetarter motor) "Iya Pak"

B : "Saya juga pengen merantau sebenernya, bosen nambal ban terus Mbak" 

S : Ooo...jadi intinya ini... (speechless)

B : "Kuliahnya kok jauh amat Mbak sampai Solo, apa ga kasian orangtua di rumah?"

S : (senyum2 aja) "hehehe..Mari Pak, Bu saya pergi dulu.." (ngacir)

Di jalan, saya kepikiran sama kata2 terakhir si bapak. Maksudnya apa ya.. Orangtua saya di rumah tidak pernah mempermasalahkan keinginan saya merantau sejak awal. Mereka malah mendukung sepenuhnya. Lagian di rumah masih ada si Lala (adik paling bungsu) yang masih SD jadi mereka paling ga tidak merasa kesepian karena ditinggal merantau sama keempat anak lainnya. Jadi maksudnya kasihan itu dalam konteks apa?

Setelah direnungkan, mungkin maksud si bapak kasihan itu dari segi finansial kali ya.. Secara pembicaraan sebelumnya ga jauh2 dari masalah ekonomi. Kalo orangtua saya sih prinsipnya setiap anak dari lahir sudah membawa rezekinya masing-masing. Sepertinya beliau berdua terinspirasi dari hadits ini
 Allah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am [6]: 151) 

Jadi Mama Papa memang ga pelit kalo urusan biaya kami anak2nya yang di rantau. Tapi ga berlebihan juga. Sistemnya, setiap bulan akan ada sejumlah tetap kiriman uang. Uang tersebut pengelolaannya sepenuhnya di tangan kami. Gimana caranya agar ketika tiba waktunya membayar biaya kuliah dan biaya kos, kami sudah tidak lagi meminta uang. Dengan begitu, mau ga mau kami dibiasakan menabung. Walaupun saya kadang juga masih minta "nambah" sih, hehe..Dan hampir selalu dikasih. :p

Teringat kata2 Mama pada suatu ketika
"Ga papa yang di rumah cuma makan tempe, asalkan anak2 Mama semuanya bisa jadi orang sukses"
Huwaaaa... Mamaaa.....Papaaaaa..................
#mendadakpengencepetpulang
#ingetskripsibelomkelar
#jadingantuk
#loh??



1 komentar: